BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil
belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma
pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma
belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar
berpusat pada guru menjadi belajar berpusat pada peserta didik. Dengan kata
lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi
lingkungan belajar yang dapat membelajarkan peserta didik, dapat mendorong
peserta didik belajar, atau memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya.
Kondisi belajar dimana peserta didik hanya
menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah
menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan
pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan
ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dapat menggunakan
pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif.
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan
mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di
dalam pikiran peserta didik itu. Berdasarkan suatu teori belajar, suatu
pembelajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan hasil belajar sebagai
perolehan peserta didik.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan
dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructiviest theory
of learning). Teori kontruktivis ini menyatakan bahwa peserta didik harus
menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi
baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak
lagi sesuai. Bagi peserta didik agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan
pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu
untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Menurut teori
konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta
didik, tapi peserta didik harus membangun sendiri pengetahuan di dalam
benaknya.[1]
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara
yang telah dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta ternyata hasil
belajar ilmu pengetahuan sosial siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta pada tahun
pelajaran 2012/2013 maupun tahun-tahun pelajaran sebelumnya masih rendah dan
masih banyak siswa yang belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang
telah ditentukan.
Berbagai alasan dapat dikemukakan sebagai
penyebab rendahnya hasil yang dicapai oleh siswa. Salah satu penyebab timbulnya
kesulitan siswa dalam memahami materi adalah kurang tepatnya penerapan metode
pembelajaran. Metode yang sering digunakan di lapangan pada mata pelajaran ilmu
pengetahun sosial cenderung bersifat teacher center, yang menyebabkan
siswa menjadi kurang aktif. Padahal, dalam implementasi KTSP, siswa dituntut
harus lebih aktif dalam proses pembelajaran supaya dapat memahami materi yang
dipelajari.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran merupakan hal yang utama. Metode ceramah yang bersifat teacher
center, dengan guru sebagai pengendali dan aktif menyampaikan informasi.
Pada kebanyakan proses pembelajaran, posisi siswa adalah pasif dan hanya
menerima informasi sehingga siswa tidak memiliki kebebasan berfikir dan siswa
kurang menggali informasi yang diterimanya. Sebagai akibat dari keadaan
tersebut, pada akhirnya kemampuan siswa untuk memahami materi sangat rendah.
Metode
pembelajaran problem solving merupakan salah satu metode pembelajaran
inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik.
Metode pembelajaran problem solving adalah suatu metode pembelajaran yang
melibatkan peserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap
metode ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk
memecahkan masalah.
Pengajaran berdasarkan masalah tidak
dirancang guru untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta
didik. Pengajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu peserta didik
mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan keterampilan
intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam
pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Menurut Nana Sudjana manfaat khusus yang
diperoleh dari metode yang dikenalkan oleh John Dewey ini adalah metode
pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu para peserta didik merumuskan
tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak
didapatkan dari buku, tetapi dari masalah yang ada disekitarnya.[2]
Pembelajaran akan lebih bermakna bagi peserta
didik apabila masalah yang sedang dipecahkan dalam pembelajaran adalah masalah
yang berkaitan langsung dalam kehidupan sehari-hari sehingga peserta didik
tidak asing lagi dengan masalah yang sedang dipecahkan.
Dari uraian di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang metode pembelajaran problem solving sebagai upaya dalam meningkatkan hasil
belajar siswa dengan judul “Peningkatan hasil belajar ilmu pengetahuan sosial
melalui metode problem solving pada
siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta
B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1.
Hasil belajar siswa yang masih rendah.
2. Proses pembelajaran yang kurang melibatkan
keaktifan siswa.
3. Model pembelajaran masih monoton dan
cenderung satu arah.
4. Penggunaan strategi pembelajaran yang kurang
efektif.
5. Suasana kelas yang kurang kondusif selama
proses pembelajaran.
6.
Rendahnya perhatian siswa dalam proses pembelajaran.
Fokus penelitian ini adalah meningkatkan
hasil belajar dengan meng-gunakan metode problem solving.
C. Pembatasan Fokus Penelitian
Karena terlalu banyak masalah yang ditemukan dan untuk
memungkinkan pengolahan data yang lebih baik di dalam penulisan, maka;
1. Metode pembelajaran pada penelitian ini
dibatasi pada metode problem solving.
2. Hasil belajar pada yang diukur adalah aspek
kognitif.
3. Konsep yang digunakan adalah konsep perjuangan bangsa
Indonesia melawan
penjajah Belanda.
4. Siswa Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah
dibatasi pada kelas V Tahun Pelajaran 2012/2013.
D. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Bagaimanakah metode problem
solving dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peningkatan hasil belajar ilmu pengetahuan sosial pada konsep perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda dengan menggunakan
metode problem solving siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi guru bermanfaat sebagai bahan masukan
dalam menjalankan proses pembelajaran di sekolah.
2. Bagi siswa, dengan penelitian ini diharapkan
hasil belajar siswa di kelas meningkat.
3. Bagi pembaca, skripsi ini diharapkan menjadi
sumber inspirasi dan masukan yang berarti dalam dunia pendidikan.
4. Bagi peneliti bermanfaat sebagai masukan
pengetahuan dan dapat membandingkan dengan teori pembelajaran yang lain dan
menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran di madrasah ibtidaiyah.
BAB II
KAJIAN TEORITIK DAN
PENGAJUAN
KONSEPTUAL
INTERVENSI TINDAKAN
A. Kajian Teoretik
1. Hakikat Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Oemar Hamalik berpendapat bahwa belajar
merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.[3]
Menurut Pribadi, belajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh individu
untuk memperoleh kemampuan atau kompetensi yang diinginkan.[4]
Melalui proses belajar seseorang akan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang diperlukan untuk melakukan sebuah tugas dan pekerjaan. Smith dan
Ragan dalam Pribadi memaknai konsep belajar sebagai perubahan yang bersifat
relatif permanen dalam pengetahuan dan perilaku seseorang yang diakibatkan oleh
pengalaman.[5]
Menurut Gagne, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman.[6]
Definisi belajar menurut Gagne merupakan
suatu proses di mana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
pengalaman yang merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam suatu pembelajaran itu mem-butuhkan
pengalaman sebagai hasil dari belajar itu sendiri.[7]
Belajar menurut B.F Skinner dalam Faturahman, dkk., merupa-kan suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif, dan dalam belajar ditemukan hal-hal sebagai berikut:[8]
Belajar menurut B.F Skinner dalam Faturahman, dkk., merupa-kan suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif, dan dalam belajar ditemukan hal-hal sebagai berikut:[8]
1) Kesempatan terjadinya peristiwa yang
menimbulkan respons belajar,
2) Respons peserta didik
3)
Konsekuensi yang bersifat menggunakan respons tersebut, baik
konsekuensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat
disimpulkan belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku seseorang yang
didasarkan oleh pengalaman dan pengetahuan. Belajar merupakan tindakan dan
perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh
siswa sendiri. Belajar bukanlah suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses
untuk mecapai tujuan. Jadi, merupakan langkah-langkah atau prosedur yang
ditempuh.
Menurut Faturahman, dkk. ada berbagai prinsip
belajar yang dikemukakan oleh para ahli psikologi pendidikan yaitu: Belajar
terjadi dan diikuti dengan keadaan memuaskan maka hubungan itu diperkuat, Spread
of effect yaitu emosional yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas
kepada sumber utama pemberi kepuasan tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru,
law of exercise yaitu hubungan antara perangsang dan reaksi diperkuat
dengan latihan dan penguasaan, dan law of primacy yaitu hasil belajar
yang diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan.[9]
Beberapa prinsip atau kaidah dalam proses
pembelajaran sebagai hasil eksperimen para ahli psikologi yang berlaku yaitu
motivasi, pembentukan, kemajuan dan keberhasilan proses belajar mengajar, feedback,
response, trial and error, transfer dalam belajar dapat bersifat
positif atau negatif dan proses belajar yang bersifat individual.
Menurut pandangan para ahli psikologi
kognitif, sesuatu yang penting tidak dapat ditemukan dari konsepsi “operant
conditioning” ini, yaitu apa sebenarnya yang terjadi. Semua pendekatan
belajar sepertinya tidak peduli pada persepsi siswa atau insight dan kognisi dari
hubungan-hubungan esensial antara unsur-unsur dalam
situasi ini.
b. Pengertian Hasil Belajar
Menurut Suprijono, hasil belajar adalah
perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi
kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para
pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris
atau terpisah, melainkan komprehensif.[10]
Selanjutnya, menurut pendapat Syaiful Bahri, mengemukakan bahwa hasil belajar
adalah perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, yang diperoleh dari
suatu proses usaha individu dalam interaksi dengan lingkungannya.[11]
Merujuk pada pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan suatu acuan dari perubahan perilaku
seorang peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Hasil belajar mempunyai
peranan penting dalam proses belajar mengajar karena memberikan informasi
terhadap guru tentang kemajuan siswa untuk mencapai tujuan-tujuan belajarnya
melalui kegiatan belajar. Selanjutnya, informasi tersebut guru dapat menyusun
dan menentukkan langkah-langkah pembe-lajaran atau kegiatan-kegiatan siswa
lebih lanjut, agar siswa bisa lebih memahami keseluruhan materi pembelajaran
dan meningkatkan hasil belajar siswa, baik untuk keseluruhan kelas maupun
individu.
Hasil belajar dibagi menjadi tiga macam hasil
belajar yaitu: a) Keterampilan dan kebiasaan; b) Pengetahuan dan pengertian; c)
Sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang
ada pada kurikulum sekolah.[12]
Menurut Oemar Hamalik menjelaskan bahwa hasil
belajar adalah apabila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah
laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak
mengerti menjadi mengerti.[13]
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai,
pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Dan merujuk pada pemikiran Gagne dalam Djamarah, yang
mengungkapkan bahwa hasil belajar berupa hal-hal:
1)
Informasi verbal yaitu kapasitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk
bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespon secara spesifik terhadap
rangsangan spesifik pula. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan.
2)
Keterampilan intelektual yaitu kemampuan memperentasikan konsep dan
lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi
kemampuan analitis sintesis fakta, konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip
ilmiah. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas
kognitif yang bersifat khas.
3)
Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam
memecahkan masalah.
4)
Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani
dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5)
Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasar-kan
penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan
eksternalisasi nilai-nilai, dan dapat menjadi-kan nilai-nilai tersebut sebagai
standar nilai.[14]
c. Indikator Hasil Belajar
Indikator hasil belajar sangat berkaitan dengan proses
belajar mengajar. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam sebuah
kegiatan belajar mengajar. Keberhasilan dalam belajar siswa dapat dilihat dari pencapaian indikator hasil belajar siswa.
Menurut Taksonomi Bloom dalam Nana Sudjana, Indikator hasil belajar mencakup pada kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Indikator hasil belajar dalam rangka studi yang dicapai melalui tiga kategori
ranah antara lain:[15]
1)
Ranah Kognitif
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual
yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan penilaian.
2)
Ranah Afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah
afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi,
menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3)
Ranah Psikomotor
Meliputi keterampilan motorik, manipulasi
benda-benda, menghubungkan dan mengamati.
Dalam hal ini hasil belajar kognitif lebih
dominan diban-dingkan dengan afektif dan psikomotor. Namun hasil belajar
psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses
pembelajaran di sekolah. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan
ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hasil belajar
adalah perubahan perilaku secara kese-luruhan bukan hanya salah satu aspek
potensi kemanusiaan saja.
Bloom dan Krathwohl dalam bukunya Taxonomy
of Educational Objectives menyatakan bahwa: domain kognitif mencakup tujuan
yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan
intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor
mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor).
Ketiga ranah tersebut dapat dirinci sebagai berikut:[16]
Tabel 2.1 Domain Taksonomi Bloom
Domain
|
Keterangan
|
a. Klasifikasi
tujuan kognitif (Bloom, 1956)
|
|
1. Ingatan/recall
|
Mengacu pada
kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang
sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan
mengingat keterangan dengan benar.
|
2. Pemahaman
|
Mengacu kepada kemampuan
memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan
merupakan tingkat berpikir yang rendah.
|
3. Penerapan
|
Mengacu kepada
kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada
situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan, prinsip.
|
4. Analisis
|
Mengacu kepada
kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor
penyebabnya, dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan
yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti.
|
5. Sintesis
|
Mengacu kepada
kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu
pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerlukan tingkah laku yang
kreatif.
|
6. Evaluasi
|
Mengacu kepada
kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan
tertentu. Evaluasi merupakan tingkat hasil belajar tertinggi dalam domain
kognitif.
|
b.
Klasifikasi tujuan afektif (Krathwohl, 1964)
|
|
1. Penerimaan
|
Mengacu kepada
kesukarelaan dan kemampuan memberikan respons terhadap stimulasi yang tepat.
Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif.
|
2. Pemberian
respons
|
Satu tingkat di
atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi tersangkut secara aktif, menjadi
peserta, dan tertarik.
|
3. Penilaian
|
Mengacu kepada
nilai atau pentingnya kita menitikberatkan diri pada objek atau kejadian
tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak, atau tidak
menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “sikap”
dan “apresiasi”.
|
4.
Pengorganisasian
|
Mengacu kepada
penyatuan nilai.
|
5. Karakterisasi
|
Mengacu kepada
karakter dan gaya hidup seseorang. Tujuan dalam kategori ini bisa ada
hubungannya dengan ketentuan pribadi, sosial, dan emosi siswa.
|
c.
Klasifikasi tujuan psikomotorik (Dave, 1970)
|
|
1. Peniruan
|
Terjadi ketika
siswa mengamati suatu gerakan. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global
dan tidak sempurna.
|
2. Manipulasi
|
Menekankan
perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan
pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini
siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru
tingkah laku saja.
|
3. Ketetapan
|
Memerlukan kecermatan,
proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respons-respons
lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat
minimum.
|
4. Artikulasi
|
Menekankan
koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan
mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di antara gerakan-gerakan
yang berbeda.
|
5. Pengalamiahan
|
Menuntut tingkah
laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun
psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat
kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.
|
Sumber: Uzer Usman
(2009:34-37)
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Djamarah untuk mendapatkan hasil
belajar dalam bentuk “perubahan” harus melalui proses tertentu yang dipengaruhi
oleh faktor dari dalam diri individu dan dari luar individu.[17]
Proses belajar telah terjadi dalam diri seseorang hanya dapat disimpulkan dari
hasilnya, karena aktivitas belajar yang telah dilakukan. Misalnya dari tidak
tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
1)
Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan
anak didik, selama hidup anak didik tidak bisa menghindarkan diri dari
lingkungan alami dan lingkungan sosial budaya. Berikut uraian mengenai faktor
lingkungan:
a)
Lingkungan alami
Lingkungan hidup merupakan lingkungan tempat
tinggal anak didik, hidup dan berusaha ada didalamnya. Keadaan lingkungan yang
tidak baik akan membuat tingkat konsentrasi siswa menjadi lebih baik.
b)
Lingkungan sosial budaya
Hidup dalam kebersamaan dan saling
membutuh-kan akan melahirkan interaksi sosial. Saling memberi dan saling
menerima merupakan kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan sosial.
2)
Faktor Instrumental
Dalam rangka menunjang kegiatan sekolah untuk
mencapai tujuan tertentu saja diperlukan seperangkat kelengkapan dalam berbagai
bentuk dan jenisnya, misalnya saja:
a)
Kurikulum
Kurikulum merupakan a plan for learning yang
menjadi unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum maka kegiatan
belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang akan guru
sampaikan dalam kegiatan pembelajaran. Jadi, kurikulum diakui dapat
mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik di sekolah.
b)
Program
Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung
dari baik tidaknya program pendidikan yang dirancang. Program pengajaran yang
dibuat tidak hanya berguna bagi guru, tetapi juga bagi anak didik.
c)
Sarana dan fasilitas
Sarana mempunyai arti penting dalam pendidikan.
Salah satu persyaratan untuk membuat suatu sekolah adalah kepemilikan gedung
sekolah yang didalamnya terdapat ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang dewan
guru, ruang perpustakaan, ruang BP, ruang tata usaha, auditorium, dan halaman
sekolah yang memadai, hal tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan
pelayanan anak didik.
Selain masalah sarana, fasilitas juga
merupakan kelengkapan sekolah yang harus diperhatikan. Misalnya saja, fasilitas
mengajar yang merupakan kelengkapan mengajar guru yang harus dimiliki oleh
sekolah. Anak didik dapat belajar dengan lebih baik dan menyenangkan bila
sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak. didik dan hasil belajar
anak didik tentu akan lebih baik.
d)
Guru
Sebagai tenaga profesional yang sangat
menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa dan negara, guru seharusnya menyadari
bahwa tugas mereka sangat berat. Di dalam sekolah, kompetensi personal akan
menentukan simpatik tidaknya guru dalam pandangan anak didik.
3)
Faktor Fisiologis
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat
berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Sebagian besar yang
dipelajari anak didik yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat contoh
atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan
kete-rangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan keterangan orang lain
dalam diskusi dan sebagainya. Tinjauan fisiologis adalah kebijakan yang pasti
tak bisa diabaikan dalam penentuan besar kecilnya, tinggi rendahnya kursi dan
meja sebagai perangkat tempat duduk anak didik dalam menerima pelajaran dari
guru di kelas.
4)
Faktor Psikologis
Belajar pada hakikatnya adalah proses
psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja
mempengaruhi belajar siswa. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu
saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak.
Berikut beberapa faktor psikologis:
a)
Minat
Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan
suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat
atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. Minat yang besar terhadap
sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai atau memperoleh benda
atau tujuan yang diminatinya.
b)
Kecerdasan
Kecerdasan merupakan salah satu faktor dari
sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar di
sekolah.
c)
Bakat
Disamping intelegensi (kecerdasan), bakat
merupakan faktoryangbesarpengaruhnyaterhadapprosesdanhasilbelajar seseorang.
Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa belajar pada bidang yang sesuai
dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu.
d)
Motivasi
Motivasi untuk belajar adalah kondisi
psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar.
e)
Kemampuan kognitif
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran juga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh
karena itu, kemampuan guru untuk memilih dan menggunakan metode pembelajaran
sangat penting untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
a. Pengertian Pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial
Istilah pembelajaran merupakan istilah baru
yang diguna-kan untuk menunjukkan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya digunakan
istilah “proses belajar-mengajar” dan “pengajaran”. Istilah pem-belajaran
merupakan terjemahan dari kata “instruction”. Menurut Gagne, Briggs, dan
Wager dalam Udin S. Winataputra pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang
dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Instructionis
a set of events that affect learners in such a way that learning is
facilitated.[19]
Pembelajaran adalah suatu proses yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran adalah suatu rangkaian aktivitas (kegiatan) siswa dan guru
dalam wujud interaksi dinamis yang didasarkan adanya hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk membelajarkan siswa sehingga terjadi
perubahan perilaku yang positif dalam dirinya.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari dokumen kurikulum 1975 yang memuat Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata
pelajaran untuk pendidikan di sekolah dasar dan menengah
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial adalah
penyederhanaan dan adaptasi disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta
kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan
pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
Menurut Somantri dalam Sapriya: “istilah
penyederhanaan digunakan pada Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pendidikan
dasar dan menengah dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tingkat kesukaran bahan
harus sesuai dengan tingat kecerdasan dan minat peserta didik.” Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajatan terdapat dalam kurikulum sekolah
mulai tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah (SMP/MTs dan
SMA/MA/SMK). IPS pada kurikulum sekolah (satuan pendidikan), pada hakekatnya
merupakan mata pelajaran wajib sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk
tingkat sekolah sangat erat kaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang
terintegrasi dengan humaniora dan ilmu pengetahuan alam yang dikemas secara
ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu Pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial di tingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan para siswa sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat
digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah
sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berparti-sipasi dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di
Indonesia baru diperkenalkan di tingkat sekolah pada awal tahun 1970-an kini
semakin berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang Social
Studies di negara-negara maju dan tingkat permasalahan sosial yang semakin kompleks.
Social Studies mempunyai lima tradisi, yakni:
1) Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai transmisi
kewarga-negaraan (Social Stufdies as citizenship transmission)
2) Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai ilmu-ilmu
sosial (Social Studies as social sciences)
3) Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai penelitian
mendalam (Social Studies as reflective inquiry)
4) Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai kritik
kehidupan sosial (social studies as social critism)
5) Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai pengembangan pribadi individu (social studies as
personal development of the individual)
Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial adalah telaah
tentang manusia dan dunianya. Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup
bersama dengan sesamanya.
b. Tujuan Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1)
Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
2)
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin
tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
3)
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan
4)
Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.
Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan
pendidikan IPS menurut Nurdin Sumaatmadja adalah membina anak didik menjadi warga
Negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian sosial
yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara”.
Sedangkan secara rinci Oemar Hamalik
merumuskan tujuan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial berorientasi pada tingkah
laku para siwa, yaitu:[20]
1)
Pengetahuan dan pemahaman, salah satu fungsi pengajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial adalah mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tentang masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada
anak.
2)
Sikap hidup belajar, Ilmu Pengetahuan Sosial juga bertujuan
mengembangkan sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial anak memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide,
konsep-konsep, baru sehingga mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang
akan datang.
3)
Nilai-nilai sosial dan sikap. Anak membutuhkan nilai-nilai untuk
menafsirkan fenomena dunia sekitarnya, sehingga mereka mampu melakukan perspektif. Nilai-nilai
sosial merupakan unsur penting di dalam pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Berdasarkan nilai-nilai social yang berkembang dalam masyarakat, maka akan
berkembang puka sikap-sikap sosial anak. Faktor keluarga, masyarakat, dan
tingkah laku guru sendiri besar pengaruhnya terhadap perkembangan nilai-nilai
dan sikap anak.
4)
Keterampilan. Anak belajar menggunakan keterampilan dan alat-alat studi
sosial, misalnya mencari bukti ilmiah, keterampilan mempelajari data masyarakat, mempertimbangkan
validitas dan relevansi data, mengklasifikasikan dan menafsirkan data-data
sosial, merumuskan kesimpulan.
c. Ruang lingkup dan Karakteristik Ilmu
Pengetahuan Sosial
Ruang lingkup mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial untuk sekolah dasar meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1)
Manusia, tempat, dan lingkungan
2)
Waktu, tempat, dan lingkungan
3)
Sistem sosial dan budaya
4)
Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan
Sedangkan Karakteristik pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Berikut ini
adalah karakteristik Ilmu Pengetahuan Sosial dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.
Ada 5 macam sumber materi pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial antara lain:
1)
Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak
dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan, sampai lingkungan yang luas negara dan berbagai permasalahannya.
2)
Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan,
produksi, komunikasi, trasportasi.
3)
Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat sejak dari lingkungan
anak yang terdekat sampai yang terjauh.
4)
Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang
dimulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang
tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.
5)
Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan,
pakaian, permainan, dan keluarga.
Sedangkan strategi penyampaian pengajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagian besar adalah didasarkan pada suatu tradisi,
yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga,
masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum ini disebut “The wediningHorizon or
Expanding Enviroment Curiculum”.
d. Ragam Pendekatan Pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial
Ada beberapa pendekatan yang dikembangkan
oleh Savage dan Amstrong dalam Sapriya, untuk mendorong siswa mengembangkan
kemampuan berpikir dalam IPS adalah kemampuan berpikir kreatif (creative
thinking), berpikir kritis (critical thinking), kemampuan memecahkan
masalah (problem solving), dan kemampuan mengambil keputusan (decision
making).
1)
Pendekatan Inkuiri (Inquiri Approach)
Pembelajaran inkuiri memperkenalkan
konsep-konsep untuk para siswa secara induktif.
Belajar dengan menggunakan pendekatan inkuiri yang mencakup proses berpikir
pada hal-hal yang khusus kepada hal-hal yang bersifat umum dimulai dengan upaya
guru memperkenalkan sejumlah konsep-konsep yang spesifik.
2)
Kecakapan Belajar Inkuiri
Pembelajaran inkuiri menerapkan metode ilmiah
untuk masalah-masalah belajar dan umumnya digunakan dalam mata pelajaran
pendidikan IPS di sekolah dasar. John Dewey, menyarankan langkah-langkah
pembelajaran inkuiri dalam buku klasiknya How We Think yang diterbitkan tahun 1910 sebagai berikut:
Menggambarkan indikator-indikator masalah atau situasi, memberikan kemungkinan
jawaban atau penjelasan, mengumpulkan bukti-bukti yang dapat digunakan untuk
menguji kebenaran jawaban atau penjelasan, menguji kebenaran jawaban sesuai
dengan bukti-bukti yang terkumpul, merumuskan kesimpulan yang didukung oleh
bukti yang terbaik.
3) Kecakapan Berpikir Kreatif (Creative
Thinking)
Berpikir kreatif lebih mengutamakan pada
pendekatan untuk memecahkan masalah yang membingungkan. Salah satu teknik
berpikir kreatif adalah teknik brainstrorming. Teknik ini pertama kali dikembangkan dalam dunia bisnis. Brainstrorming dirancang untuk membantu orang-orang
memecahkan masalah. Teknik ini diawali dengan penyajian sebanyak-banyaknya
kemunginan jawaban atas pertanyaan tanpa menilai terlebih dahulu apakah jawaban
itu tepat.
4) Kecakapan Berpikir Kritis (Critical
Thinking)
Tujuan berpikir kritis adalah untuk menguji
suatu pendapat atau ide dengan melakukan pertimbangan atau pemikiran yang
didasarkan pada pendapat yang diajukan yang didukung oleh kriteria yang dapat
dipertanggung jawabkan. Berpikir kritis dapat mendorong siswa untuk mengeluarkan ide
baru. Pembelajaran
keterampilan berpikir kritis kadang-kadang dikaitkan dengan keterampilan
berfikir kreatif.
5) Keterampilan Memecahkan Masalah (Problem
Solving)
Idealnya setiap masalah dapat dipecahkan
dengan proses penyelesaian yang benar, tepat, dan baik sesuai dengan dukungan
bukti yang tesedia. Proses pembelajaran dengan teknik problem solving mencakup
langkah-langkah: mengenali masalah, mencari alternatif pendekatan, menerapkan
pendekatan, dan mencapai kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan.
6) Proses Pengambilan Keputusan (Decision
Making Process)
Banyak pertanyaan yang kita kemukakan sering
dijawab kurang tepat. Jawaban-jawaban itu mungkin saja mengandung kebenaran. Masalahnya adalah bagaimana kita memilih jawaban-jawaban yang
mengandung kebenaran itu. Untuk melakukannya kita harus melakukan seleksi berdasarkan pilihan yang tersedia, menilai bukti-bukti yang telah
terkumpul, dan mempertimbangkan nilai-nilai pribadi yang dimiliki oleh para siswa. Proses
berpikir seperti ini dikenal sebagai proses pengambilan keputusan.
e. Materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan
Penjajah Belanda
Pembelajaran IPS yang
akan dibahas pada penelitian ini difokuskan pada materi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda.
Tahun 1596 Belanda di bawah pimpinan Cornelis
de Houtman, pertama kali mendarat di Banten. Tahun 1602 Belanda mendirikan
kongsi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Batavia untuk
memperkuat kedudukannya. VOC mempunyai hak istimewa disebut Octroi.
Gubernur Jendral VOC pertama Pieter Both.
VOC ingin menguasai pusat-pusat perdagangan,
seperti Batavia, Banten, Selat Sunda, Makasar, Maluku, Mataram (Jawa), dan
berbagai daerah strategis lain. Belanda dapat menguasai Nusantara karena
politik kejam mereka yaitu politik adu domba. Belanda mengadu domba raja-raja
di daerah sehingga mereka terhasut dan terjadilah perang saudara dan perebutan
tahta kerajaan. Belanda membantu pemberontakan dengan meminta imbalan daerah
kekuasaan dagang (monopoli perdagangan). Akhir abad ke-18 VOC bangkrut dan
dibubarkan tanggal 31 Desember 1799.
Indonesia diperintah oleh Kolonial Belanda
dengan gubernur jendral pertama Daendels yang sangat kejam. Rakyat
dipaksa kerja rodi membuat jalan sepanjang 1.000 km (dari Anyer–Panarukan),
mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya juga membangun Pelabuhan
Merak. Daendels digantikan Jansens yang kemudian dikalahkan
Inggris. Tahun 1816 Indonesia dikembalikan ke Belanda, dengan Van den Bosch
sebagai gubernur. Ia menerapkan politik tanam paksa.
Dari berbagai penjuru tanah air timbul
perlawanan menentang penjajahan oleh Bangsa Belanda. Di antaranya adalah
Perlawanan Sultan Agung, Trunojoyo, Untung Suropati, Perang Maluku, Perang
Diponegoro, Perang Bali, Perang Banjar, Perang Aceh, Perang Sisingamangaraja,
Perang Lombok, dan Perang Padri.
3. Hakikat Metode Pembelajaran Problem Solving
a. Pengertian Metode Pembelajaran Problem Solving
Dalam
pembelajaran banyak sekali model atau metode yang lazim digunakan, namun di
sini penulisakan menyebutkan beberapa saja yang dinilai dapat lebih melatih siswa untuk berpikir tinggi, di
antaranya adalah:[21]
1)
Model pembelajaran pengajuan soal (problem posing)
2)
Model pembelajaran kontekstual (contextuaal teaching and learning)
3)
Model pembelajaran pakem
4)
Model pembelajaran quantum (quantum learning)
5)
Model pembelajaran terbalik (reciprocal learning)
6)
Model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving)
7)
Model pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
Adapun pengertian dari model atau metode problem
solving sendiri adalah mengajar yang dilakukan dengan jalan melatih para peserta didik menghadapi berbagai masalah
untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.[22]
Model ini bukan hanya sekedar model mengajar, tetapi juga merupakan suatu model berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan model-model lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai kepada
menarik kesimpulan.[23]
Dalam memecahkan masalah, peserta didik harus
menguasai cara pengaplikasikan konsep-konsep dan menggunakan keterampilan dalam berbagai situasi baru yang
berbeda-beda.[24]
Dalam problem solving, biasanya permasalahan yang digunakan dapat diangkat dari permasalahan kehidupan
nyata (real lifesituation) yang pemecahannya memerlukan sebuah ide.[25]
Pemecahan masalah adalah proses yang ditempuh
oleh seorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu
tidak lagi menjadi masalah baginya. Untuk menjadi pemecah masalah yang baik,
siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah
dalam bidang matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Dan untuk
menyelesaikan masalah, siswa harus menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan
pemahaman yang telah dipelajari sebelumnya dalam situasi yang benar-benar baru.
Di dalam pembelajaran, terutama pembelajaran
pemecahan masalah, ada seorang tokoh yang sangat dikenal, yakni George Polya. Menurut
George polya untuk memecahkan masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan
yaitu:
1)
Memahami masalah, kegiatan yang dapat
dilakukan pada langkah ini adalah apa (data) yang diketahui, apa yang tidak
diketahui (ditanyakan), apa informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus
dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional
(dapat dipecahkan).
2)
Merencanakan pemecahannya, kegiatan yang
dapat dilakukan pada langkah ini adalah mencoba mencari atau mengingat masalah
yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan
dipecahkan, mencari pola atau aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat
konjektur).
3)
Menyelesaikan masalah sesuai rencana,
kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang
telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.
4)
Memeriksa kembali prosedur dan hasil
penyelesaian, kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah
menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang
diperolah benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif, apakah prosedur
yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sejenis, atau
apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.
Sedangkan langkah-langkah penyelesaian
masalah menurut Ismail, yaitu:
1)
Merumuskan masalahnya, yaitu memahami masalah
itu meliputi mengenal apa yang ditanyakan dan apa syaratnya.
2)
Memilih strategi, dalam tahap ini mungkin dilakukan
dengan mencoba-coba dengan menyederhanakan soalnya, dengan membuat modelnya, atau sketsa
gambarnya (grafiknya) atau dengan berfikir baik dari belakang.
3)
Melaksanakan prosedur penyelesaian, yaitu
memperoleh data dengan menggunakan strategi yang diperoleh, kemudian membuat
dugaan penyelesaian dan membuktikan kebenaran dugaan itu.
4)
Mengkomunikasikan perolehannya (hasil) dengan
uraian, dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan hasil.
Empat langkah ini dikenal dengan nama
bermacam-macam antara lain “SEE-PLAN-DO-CECK” atau “KENALI-SUSUN
RENCANA-LAKUKAN-PERIKSA KEMBALI”.
Jadi secara garis besar langkah pembelajaran pemecahan masalah mengacu pada
empat tahap pemecahan masalah yang diusulkan Polya yaitu:
1)
Memahami masalah
Pada langkah ini kegiatan pemecahan masalah
diarahkan untuk membantu peserta didik menetapkan apa yang dikatahui pada
permasalahan dan apakah yang dipertanyakan. Beberapa pertanyaan yang perlu
dimunculkan kepada peserta didik untuk membantunya dalam memahami masalah,
antara lain:
a)
Apa (data) yang diketahui dari soal?
b)
Apa yang tidak diketahui atau apa yang
ditanyakan?
c)
Apakah informasi Yang diperlukan cukup?
2)
Merencanakan pemecahan masalah
Dalam langkah ini kegiatan yang dilakukan
adalah mengarahkan peserta didik untuk dapat mengidentifikasi strategi
pemecahan masalah yang sesuai, mencari pola, atau mengingat masalah yang pernah
diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan,
mencari pola dan aturan atau menyusun prosedur penyelesaian .
3)
Melaksanakan penyelesaian soal
Peserta didik diarahkan untuk menyelesaikan
soal sesuai dengan yang direncanakan yaitu dengan menjalankan prosedur yang
telah dibuat sebelumnya dengan mengingat kembali materi atau konsep yang
berkaitan dengan soal tersebut.
4)
Memeriksa kembali jawaban atau hasil
penyelesaian
Memeriksa kembali berarti melakukan
pengecekan terhadap hasil atau jawaban yang diperoleh, hal ini perlu dilakukan
agar jawaban yang diperoleh benar-benar tepat dan sesuai dengan masalahnya.
Ada sejumlah alasan kuat mengapa problem
solving perlu ditekankan untuk menciptakan pengajaran yang efektif, yaitu:[26]
1)
Harapan untuk membuat pembelajaran lebih dapat diterapkan dalam kehidupan peserta didik
diluar pengajaran kelas.
2)
Memberikan kesempatan dan mendorong peserta didik untuk berdiskusi
dengan temannya.
3)
Dapat mendorong peserta didik untuk menyusun teorinya sendiri,
mengujinya dan menguji teori temannya, membuangnya dan mencoba yang lain.
b. Langkah-langkah Metode Pembelajaran Problem
Solving
1)
Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh
dari peserta didik sesuai dengan taraf kemampuannya.
2)
Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah tersebut. Misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya,
berdiskusi dan lain-lain.
3)
Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini
tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh pada langkah kedua di
atas.
4)
Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini peserta
didik harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa
jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau
sama sekali tidak sesuai.
5)
Menarik kesimpulan. Artinya peserta didik harus sampai pada kesimpulan
terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
c. Kelebihan dan Kekurangan Metode Problem
Solving
Sebagai sebuah metode, seperti halnya metode pembelajaran yang lain, problem
solving memiliki kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan, di
antaranya sebagai berikut :[28]
1)
Kelebihan metode problem solving
a)
Situasi belajar menjadi lebih aktif, hidup, bersemangat, bermutu dan
berdaya guna.
b)
Penguasaan peserta didik terhadap bahan pelajaran lebih mendalam, juga
melatih murid berpikir ilmiah.
c)
Menumbuhkan sikap obyektif, percaya diri, bersungguh-sungguh, berani
serta bertanggung jawab.
2)
Kekurangan metode problem solving
a)
Sulit menentukan alternatif permasalahan yang tepat untuk diajukan sesuai kemampuan anak.
b)
Apabila problem yang diajukan terlalu berat, akan mengundang banyak
resiko.
c)
Guru akan mengalami kesulitan dalam mengevaluasi secara tepat proses
pemecahan masalah yang dilakukan murid.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Eni Rahmawati pada tahun 2010 mengadakan
penelitian dengan judul:
“Efektivitas metode problem solving dalam Pembelajaran Matematika Materi Pokok
Bilangan Bulat Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa” menyimpulkan bahwa metode problem solving efektif dalam meningkatkan hasil belajar
siswa pada pelajaran matematika materi pokok bilangan bulat.
Najiullah pada tahun 2010, membuat penelitian dengan judul “Implementasi
Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Peserta Didik”. Dari hasil penelitiannya, membuktikan bahwa Implementasi
Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada materi pokok
perubahan energi pada reaksi kimia dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan cukup
signifikan.
Muhamad Arif, tahun 2010, melakukan
penelitian dengan judul “Penerapan Model
Pembelajaran Problem Based Instruction Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa Pada
Mata Pelajaran Fisika. Penelitiannya berkesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran problem
based instruction dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata
pelajaran fisika.
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan hasil
penelitian di atas, dapat dibuat hipotesis tindakan dalam penelitian ini
sebagai berikut: Metode problem solving dapat meningkatkan hasil belajar
siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta Pada Tahun Pelajaran 2012/2013.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Penelitian ini dilakukan di Madrasah
Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta.
2. Waktu penelitian adalah pada bulan Mei 2013.
B. Metode Penelitian dan Rancangan Siklus
Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), fokus
masalah dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa
dengan memberikan tindakan berupa penggunaan metode pembelajaran problem
solving. Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan hasil
belajar siswa dalam proses pembelajaran di kelas melalui suatu tindakan
tertentu dalam suatu siklus serta mampu memberi solusi pada masalah baik secara
perorangan maupun secara keseluruhan, ini akan dilakukan secara bersiklus
dengan tindakan yang dilakukan dari kondisi awal.
Untuk menerapkan perangkat pembelajaran problem solving digunakan rancangan
penelitian tindakan, selain itu juga untuk memecahkan masalah-masalah praktis,
juga untuk memperbaiki strategi pembelajaran. Dalam penelitian ini tindakan
yang dimaksud adalah penerapan Metode Pembelajaran Problem Solving untuk
meningkatkan hasil belajar siswa.
Secara garis besar terdapat empat tahapan
yang harus dilalui dalam penelitian tindakan kelas, yaitu: 1) perencanaan, 2)
pelaksanaan, 3) pengamatan, dan 4) refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk
masing-masing tahapan adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1. Bagan Alur Siklus Penelitian
Tindakan Kelas
Menurut Suharsimi Arikunto
C. Subjek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa
Madrasah Ibtidaiyah Al-Karimiyah Jakarta, dengan jumlah siswa sebanyak 21 orang (11 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan) pada Tahun Pelajaran 2012/2013.
D. Peran Dan Posisi Peneliti
Peran dan posisi peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai guru
sekaligus peneliti dengan observer teman sejawat yang mengamati dan mencatat
segala aktifitas yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung
dengan menggunakan Metode Pembelajaran Problem Solving.
E. Tahapan Intervensi Tindakan
Tahapan intervensi tindakan dalam penelitian
dimulai dengan tindakan pada siklus I, apabila pada refleksi siklus I target
penelitian yang diharapkan belum tercapai maka penelitian dilanjutkan dengan
tindakan pada siklus II dan siklus selanjutnya sampai dengan target penelitian
tercapai dengan sempurna.
Pada pelaksanaan siklus akan dilakukan sesuai
dengan tahapan-tahapan penelitian tindakan kelas. Adapun tahapan intervensi
tindakan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Perencanaan
Kegiatan yang akan dilakukan dalam tahap perencanaan adalah:
a. Membuat rencana pembelajaran dengan metode
pembelajaran problem solving dan lembar observasi.
b. Membuat instrumen yang akan digunakan dalam
siklus penelitian tindakan kelas/ alat bantu/ media yang diperlukan.
c. Membuat alat evaluasi.
2. Pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah
melaksanakan skenario pembelajaran dengan menerapkan metode pembelajaran problem solving yang telah direncanakan.
3. Observasi
Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap
pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi.
4. Refleksi
Hasil yang didapatkan dari hasil observasi
dikumpulkan untuk kemudian dianalisis. Pada tahap ini guru dapat merefleksi
diri berdasarkan hasil observasi dan diskusi. Untuk mengkaji apakah tindakan
yang telah dilakukan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran IPS.
Hasil refleksi akan menjadi acuan untuk merencanakan tindakan pada siklus
berikutnya. Adapun data dan cara pengambilannya adalah:
a. Sumber data dari tindakan kelas ini adalah
siswa dan guru peneliti.
b. Jenis data yang didapatkan adalah data
kuantitatif dan data kualitatif yang terdiri dari:
1) Rencana pelaksanaan pembelajaran
2) Data hasil observasi terhadap pelaksanaan
pembelajaran.
c. Cara pengambilan data
1) Data tentang keterkaitan antara perencanaan
pelaksanaan pembelajaran didapatkan dari lembar observasi.
2) Data tentang aktivitas siswa didapatkan dari lembar observasi.
3) Data hasil belajar diperoleh dari tes
penilaian.
F. Hasil Intervasi Tindakan yang Diharapkan
Hasil penelitian tindakan yang diharapkan
pada penelitian ini adalah bahwa penerapan Metode Pembelajaran Problem Solving
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran IPS pada materi perjuangan bangsa Indonesia
melawan penjajah Belanda. Diharapkan pada
penelitian ini 70% dari jumlah keseluruhan siswa yang menjadi subjek penelitian
mencapai hasil belajar dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 65.
G. Data dan Sumber Data
Data dan sumber data yang diperlukan dalam
penelitian ini diperoleh baik dari siswa maupun dari guru peneliti. Data untuk
analisis pelaksanaan pembelajaran dengan metode pembelajaran problem solving didapatkan dari lembar observasi. Sedangkan data perubahan perilaku
siswa didapatkan dari lembar observasi, wawancara dengan siswa, dan catatan
lapangan. Dan data hasil belajar siswa diperoleh dari hasil tes yang diberikan
pada akhir setiap siklus.
H. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
wawancara dengan subjek penelitian, tes hasil belajar, catatan lapangan, lembar
observasi. Hasil setiap pengamatan didiskusikan pada saat analisis data untuk
selanjutnya dijadikan dasar untuk melakukan refleksi.
I. Instrumen Pengumpul Data
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tes Hasil Belajar
Bentuk tes yang diberikan pada penelitian ini
adalah tes pilihan ganda, untuk mengukur hasil belajar siswa pada materi perjuangan bangsa
Indonesia melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Tabel 3.1. Kisi-Kisi Soal
No
|
Indikator
|
Jumlah Soal
|
|
1
|
Menceritakan sebab jatuhnya daerah-daerah nusantara ke
dalam kekuasaan pemerintah Belanda
|
3
|
|
2.
|
Menjelaskan sistem kerja paksa dan penarikan pajak yang
memberatkan rakyat
|
3
|
|
3.
|
Menceritakan perjuangan para tokoh daerah dalam upaya
mengusir penjajah Belanda
|
4
|
|
Jumlah Total
|
10
|
2. Pelaksanaan Pembelajaran di Kelas
Untuk mendapatkan data tentang pelaksanaan pembelajaran di kelas
digunakan lembar observasi pelaksanaan pembelajaran yang berisi
indikator-indikator penilaian yang ingin dicapai pada penelitian ini.
Adapun lembar observasi pelaksanaan pembelajaran yang akan digunakan
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Kisi-Kisi Penilaian Pelaksanaan Pembelajaran
No
|
Tahapan
|
Indikator
|
1
|
Kegiatan membuka Pelajaran
|
1.
Mengkondisikan siswa agar siap mengikuti pembelajaran
2.
Melakukan kegiatan apersepsi
3.
Menyampaikan tujuan pembelajaran
|
2
|
Kegiatan Inti Pembelajaran
|
1.
Penguasaan Materi Pelajaran
2.
Pendekatan/ strategi
pembelajaran
3.
Pemanfaatan sumber belajar
dan media pembelajaran
4.
Pembelajaran yang memicu
adanya keterlibatan siswa
|
3
|
Evaluasi/ penilaian/ tindak lanjut
|
1. Penilaian proses
dan hasil belajar
2. Penggunaan
bahasa
3. Penutup
|
3. Aktivitas Siswa
Untuk mendapatkan data tentang aktivitas siswa dalam penerapan metode pembelajaran problem solving digunakan lembar observasi. Adapun kisi-kisi lembar observasi yang akan digunakan adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.3. Lembar Observasi Aktivitas Siswa
No
|
Aktivitas yang diobservasi
|
|
1
|
Siswa memperhatikan
penjelasan guru
|
|
2
|
Siswa mendengarkan
penjelasan dari guru
|
|
3
|
Siswa mencatat penjelasan
guru
|
|
4
|
Siswa mengerjakan tugas
yang diberikan oleh guru
|
|
5
|
Siswa mengajukan
pertanyaan
|
|
6
|
Siswa menjawab pertanyaan
|
|
7
|
Siswa merespon
permasalahan yang diberikan oleh guru.
|
|
8
|
Siswa berani mengungkapkan
pendapat
|
|
9
|
Siswa aktif bekerjasama dengan kelompoknya
|
|
10
|
Siswa bersemangat dalam
proses pembelajaran
|
J. Analisis dan Interpretasi Data
Setelah data terkumpul maka dilakukan
analisis data dilanjutkan dengan interpretasi data. Data yang akan dianalisis
adalah data hasil belajar siswa, hasil observasi kegiatan guru dan siswa pada
proses pembelajaran, catatan lapangan dan wawancara:
1. Tes hasil belajar
Dalam menganalisis data hasil belajar pada
aspek kognitif atau penguasaan konsep menggunakan analisis dekriptif dari
setiap siklus dapat diperoleh dengan memberi skor pada setiap butir soal yang
diberikan kepada siswa. Dalam hal ini tes yang digunakan adalah berupa tes
pilihan ganda. Tingkat pencapaian kompetensi dasar yang bersangkutan adalah
perbandingan antara siswa yang menjawab benar dengan jumlah siswa keseluruhan.
Untuk menghitung skor rata-rata hasil belajar siswa menggunakan rumus seperti
di bawah ini.
Keterangan:
=
Mean (skor rata-rata)
=
Jumlah Total Skor siswa
=
jumlah siswa
2. Data observasi
a. Data observasi kegiatan guru
Data kegiatan guru akan diolah secara
kualitatif dimana skror rata-rata kegiatan guru akan dibagi menjadi lima
kategori skala yaitu: sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik dan tidak baik.
b. Data observasi aktivitas siswa
Analisis data kegiatan siswa dalam proses
pembelajaran menggunakan format observasi. Untuk mengolah data observasi
kegiatan siswa digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
=
angka persentase
=
frekwensi siswa yang memunculkan indikator
=
jumlah responden
=
bilangan tetap (rumus persentase)
K. Pengembangan Perencanaan Tindakan
Setelah perencanaan tindakan dilakukan, maka
untuk pengembangan tindak lanjutnya adalah evaluasi yaitu evaluasi tujuan yang
diharapkan dalam penelitian ini, hasil belajar siswa yang sesuai dengan dengan
indikator ketercapaian dan tahapan pembelajaran problem solving seperti persiapan guru, persiapan kelas, penyajian
dan langkah-langkah lanjutan sudah tercapai atau belum. Kemudian jika hasilnya
belum memuaskan atau belum mencapai target yang diharapkan, maka evaluasi ini
digunakan untuk melakukan refleksi kembali.
Refleksi yang dilakukan peneliti adalah
evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan selama proses intervensi tindakan.
Hasil observasi dalam tahapan pengamatan dianalisis secara deskriptif untuk
menggambarkan hasil observasi secara objektif. Hasil observasi juga digunakan
untuk evaluasi terhadap prosedur, apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan
skenario pembelajaran sesuai dengan perencanaan ataukan terjadi penyimpangan, dan
juga apakah hasilnya sudah memenuhi target yang diharapkan atau belum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono, Pendidikan
bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Pusat Perbukuan Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan bekerja sama dengan PT. Rineka Cipta, Cet. I, 1999
Agus Suprijono, Cooperative Learning; Teori dan
Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009)
Dimyati dan Mudjiono, Belajar
dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hlm. 11
Faturrahman, M.MPd, dkk., Pengantar
Pendidikan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012)
Imansjah Alipandie, Didaktik
Metodik Pendidikan Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984)
Mutadi, Pendekatan Efektif
dalam Pembelajaran Matematika, Semarang: Pusdiklat Tenaga Teknis
Keagamaan-Depag bekerja sama dengan DIT Bina Widyaiswara LAN-RI
Nana Sudjana, Penilaian Hasil
Proses Belajar dan Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)
Oemar Hamalik, Proses Belajar
Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006)
Pribadi A. Benny, Model Assure
untuk Mendesain Pembelajaran Sukses, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2011)
Syaiful. B. Djamarah, Psikologi
Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008)
Trianto, Model-model
Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Surabaya: Prestasi
Pustaka Publisher, 2007)
Udin S. Winataputra, dkk., Teori
Belajar dan Pembelajaran. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008)
Uzer Usman, Menjadi Guru
Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009)
[1] Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik, (Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), hlm. 12-13.
[3]Oemar
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006) hlm.
27
[4]Pribadi A. Benny, Model Assure untuk Mendesain
Pembelajaran Sukses, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2011), hlm. 12
[6]Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hlm. 11
[8]Faturrahman, M.MPd, dkk., Pengantar Pendidikan,
(Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012), hlm. 7
[10]Agus Suprijono, Cooperative Learning; Teori dan
Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), hlm. 7
[11]Syaiful. B. Djamarah, Psikologi Belajar,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), hlm. 22
[12]Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar dan
Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 22
[14]Syaiful.
B. Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), hlm.
22
[15]Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar dan
Mengajar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 116
[16]Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 34
[17]Syaiful.
B. Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), hlm.
175
[19]Udin S. Winataputra, dkk., Teori Belajar dan
Pembelajaran. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), hlm.19
[20]Oemar
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006) hlm.
40-41
[21]Amin Suyitno, Op.
Cit., hlm. 2
[22]Imansjah Alipandie, Didaktik Metodik Pendidikan Umum,
Surabaya: Usaha Nasional, 1984, hal. 105
[23]Syaiful Bahri
Djamarah, Op. Cit, hal.103
[24]Abdurrahman, Mulyono, Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar,
Jakarta: Pusat Perbukuan Dep. Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan PT.
Rineka Cipta, Cet. I, 1999, hal. 257
[25]Mutadi, Pendekatan Efektif dalam Pembelajaran Matematika,
Semarang: Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan-Depag bekerja sama dengan DIT Bina
Widyaiswara LAN-RI, 2007, hal. 25
[28]Imansjah, Op.
Cit., hal. 106-107